Tag: universitas Gadjah Mada

Festival Pascasarjana FK-KMK UGM Bersama Universitas Pattimura Bahas Pengendalian Virus Nyamuk Demam Berdarah

Festival Pascasarjana FK-KMK UGM Bersama Universitas Pattimura Bahas Pengendalian Virus Nyamuk Demam Berdarah

Pentingnya sinergi bidang kesehatan didalam berkontribusi mengatasi masalah kesehatan nasional diwujudkan didalam berbagai program kerja serupa antar universitas. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) berkolaborasi bersama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura didalam kronologis “Festival Pascasarjana FK-KMK UGM” pada Sabtu (23/6).

Acara yang disiarkan segera berasal dari Aula Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura, Ambon berikut dihadiri segera oleh akademisi berasal dari dua universitas. “Tujuan utama kami datang laksanakan roadshow ini adalah untuk memperkenalkan bidang belajar di UGM. Kita paham bahwa persebaran tenaga kesehatan selagi ini tidak merata, dan sangat dibutuhkan. Kami berharap, acara ini mampu menaikkan pengetahuan dan menaikkan alternatif bagi para dosen, baik berasal dari S1 ke S2, maupun S2 ke belajar S3,” ucap dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D, Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK-KMK UGM.

Pertemuan 2 Kampus

Pertemuan dua kampus ini menjadi wadah diskusi didalam mengulas berbagai isu kesehatan. “Besar harapan kami pada FK-KMK UGM untuk tidak cuma berdiskusi di sini, tapi juga mampu berkolaborasi lebih lanjut, lebih-lebih didalam Tridarma perguruan tinggi,” ungkap Dekan Fakultas Kedokteran Unpatti, Dr. dr. Bertha Jean Que, Sp.S., M.Kes. Menurutnya, salah satu faktor ketidakmerataan tenaga medis, lebih-lebih dokter adalah gara-gara enggannya lulusan sarjana kedokteran untuk menyita belajar profesi selain dokter spesialis. Hal ini juga mendapat dukungan bersama dengan terdapatnya kebijakan umur maksimal pendidikan S2 adalah 35 tahun.

Rangkaian acara dilanjutkan bersama dengan sesi talkshow dan diskusi bertema “Inovasi Intervensi dan Teknologi Kesehatan Kedokteran” yang dibawakan oleh civitas akademika FK-KMK UGM. Salah satu isu yang diangkat adalah inovasi dan intervensi penanganan nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD). Kementrian Kesehatan melaporkan setidaknya tersedia peningkatan vital pada angka kematian gara-gara DBD, yakni 705 orang di 2021, menjadi 1.183 di 2022.

Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D menyampaikan sistem pertumbuhan dan persebaran nyamuk DBD di masyarakat. “Salah satu inovasi yang kami kembangkan adalah bakteri Wolbachia pada nyamuk yang mampu mencegah virus dengue. Kami mengawinkan nyamuk jantan dan betina, di mana salah satunya mempunyai bakteri Wolbachia. Ketika telur-telur nyamuk bersama dengan virus dengue itu muncul, ternyata virusnya tidak berkembang,” terang Prof. Adi. inovasi bakteri Wolbachria ini membangkitkan solusi baru untuk mengendalikan pertumbuhan nyamuk dengue di masyarakat.

UGM dan Kemenlu RI Bahas Bagaimana Penyelesaian Konflik Pembangunan di Papua

UGM dan Kemenlu RI Bahas Bagaimana Penyelesaian Konflik Pembangunan di Papua

Pembangunan di Papua sudah sejak lama dilakukan pemerintah dalam upaya untuk menangani konflik di Papua. Terkini, pemerintah pusat menetapkan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua yang mencerminkan bagaimana pendekatan pembangunan ditempuh oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik di Papua. Oleh karena itu, diperlukan penyamaan persepsi dalam penyelesaian permasalahan di Papua melalui pendekatan pengakuan hak sipil politik, dan ekonomi, sosial budaya, memperkuat pendidikan untuk kesadaran hak dan memperkuat strategi budaya dengan menghidupkan kembali bahasa ibu serta memperkuat kualitas SDM anak muda dengan pendidikan adat dan pendidikan nasional.

Hal itu mengemuka dalam focus group discussion (FGD) yang bertajuk 60 Tahun Integrasi: Menelaah Kembali Pendekatan Pembangunan untuk Perdamaian Papua, Selasa (13/6) lalu di di Ruang Rapat Dekanat Fisipol UGM. Kegiatan diskusi ini diinisiasi oleh Gugus Tugas Papua, Fisipol UGM, dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di sela-sela kegiatan penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pusat Strategi Kebijakan Isu Khusus dan Analisis Data Kemlu RI dengan Fisipol UGM.

Menurut Wakil Dekan Universitas Gadjah Mada

Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan SDM Fisipol UGM, Dr. Nurhadi Susanto, menekankan saat ini diperlukan penyamaan persepsi dalam penyelesaian permasalahan di Papua. “Membicarakan tentang Papua tidak hanya melalui diskursus saja, perlu penyamaan persepsi, framework yang jelas dan semua proses perlu untuk didiskusikan. Dengan harapan, ketimpangan pembangunan dan tujuan mulia konstitusi segera dapat diwujudkan. Fisipol UGM akan sangat bersedia untuk bekerja sama untuk menguraikan persoalan yang ada di Tanah Papua,” katanya.

Kepala Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri RI, Dr. Yayan G. H. Mulyana, menegaskan pentingnya pelibatan ahli dan masyarakat dalam penyelesaian konflik di Papua. “Kami sangat ingin mendengar masukan saran dan pandangan dalam mencari akar rumput permasalahan di tanah Papua serta memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi,” jelasnya.

Sekretaris Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Arie Ruhyanto, mengatakan di tengah gencarnya proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah diikuti dengan meningkatnya angka kekerasan di Papua. Kondisi ini juga diperparah oleh Gerakan Papua Merdeka yang relatif semakin terorganisir melalui budaya, sosial, politik luar negeri, senjata, dan bahkan berhasil menarik perhatian aktivis NGO. Pendekatan pembangunan yang dilakukan di Papua demi mewujudkan perdamaian justru berpotensi menjadi paradoks bagi perdamaian itu sendiri.

“Pendekatan perdamaian dalam pembangunan, mudah tergelincir, menghadirkan provisi atau pertumbuhan ekonomi, otomatis memicu kehadiran para pendatang karena terbukanya peluang ekonomi. Harus kita akui Orang Asli Papua (OAP) masih belum bisa berkompetisi secara penuh dengan pendatang. Justru pendekatan pembangunan menunjukkan marginalisasi bagi OAP,” katanya.

Dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, Arie menggarisbawahi pentingnya kapasitas relasional bagi masyarakat Papua agar dapat terintegrasi dengan Indonesia secara teritorial, sosial dan ekonomi sehingga reinstrumentasi pembangunan di Papua harus menghadirkan dignity, pride, justice, fairness, honour, equality, dan humanity.

Peneliti dari Yayasan Bentala Rakyat, Dr. Laksmi Adriani Savitri, menekankan bahwa salah satu akar masalah konflik yang terjadi di Papua adalah budaya kolonial yang mendorong modernitas yang dipaksakan. Dorongan modernisasi yang dipaksakan ini mendorong resistensi terselubung atau yang disebut matohale seperti penolakan pasif dan putus sekolah di kalangan masyarakat Papua. Tidak jarang juga pembangunan di Papua justru dimanfaatkan oleh masyarakat asli tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan. Dengan begitu, hal yang justru penting dan menjadi titik buta bagi kebijakan pemerintah di Papua adalah rekognisi sebagai upaya struktural.

“Kami menghadirkan Dekolonisasi Budaya (akulturasi). Akulturasi budaya sudah berjalan melalui inisiatif anak muda Papua tentang pertanian berkelanjutan di Papua, festival musik tentang lingkungan dan lain sebagainya. Proses ini bertujuan untuk mendapat pengakuan budaya yang bermartabat,”ujarnya

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Papua, Prof. Dr. Melkias Hetharia, SH., M.Hum., dalam paparannya menyampaikan bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Papua telah menjadi memori kelam kolektif yang disebut sebagai memoria passionis. Padahal, Memoria Passionis ini menyebabkan perasaan yang tidak menyenangkan, sedih, marah, kecewa dan apatis, serta curiga terhadap proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Melkias juga menggarisbawahi 4 akar masalah di Papua, yaitu pelurusan sejarah integrasi, pelanggaran HAM, marginalisasi, dan ketimpangan pembangunan, dengan akar masalah berupa ideologi Papua Merdeka. “Saya melihat 4 akar masalah di Tanah Papua berasal dari 1 masalah dasar yaitu ideologi Papua Merdeka. Persoalan ideologi orang Papua bergantung pada penyelesaian akar masalah yang ada,” pungkasnya.