Kasus Suap Rektor Unila, Ini 3 Faktor Pemicu Sikap Korup di Kampus
Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani menjadi tersangka kasus dugaan suap program penerimaan mahasiswa baru (PMB) tahun 2022 jalur mandiri Karomani diduga menerima suap hingga lebih dari Rp 5 miliar karena meluluskan calon mahasiswa baru yang mengikuti Seleksi Mandiri Masuk Unila (Simanila). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga, Karomani memasang tarif Rp 100 juta hingga Rp 350 juta untuk meluluskan calon mahasiswa yang mendaftar melalui jalur mandiri.
Selain Karomani, dua orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka penerima suap yakni Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri. KPK juga menetapkan satu orang dari pihak keluarga calon mahasiswa yang diluluskan bernama Andi Desfiandi sebagai tersangka pemberi suap. Pengusutan kasus suap terhadap jajaran Rektorat Unila hingga kini terus dilanjutkan. KPK menyatakan, kasus ini masih bisa terus berkembang.
Faktor pemicu
Melihat ini, pengamat pendidikan Darmaningtyas berpandangan, setidaknya ada 3 faktor yang memunculkan sikap korup di lingkungan kampus. Pertama, proses pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) yang tidak jauh berbeda dengan pemilihan pejabat negara. Rektor dipilih tidak hanya mempertimbangkan akademik, tapi juga politik.
Seperti halnya pemilihan calon presiden dan wakil presiden, persaingan pemilihan dekan dan rektor diwarnai dinamika saling sikut antarcalon dan saling menjatuhkan. Bahkan, persaingan juga menyangkut lobi-lobi ke penentu suara, dalam hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Biaya lobi itu gratis seandainya kandidat punya koneksi dengan menteri. Jika tidak, lobi terpaksa dilakukan melalui jalur lain seperti partai politik dan butuh biaya besar. “Misalkan dia terpilih jadi rektor di PTN, dari mana harus mengembalikan uang lobi tersebut?” kata Darmaningtyas kepada Kompas.com, Senin (22/8/2022).
Faktor Pendukung
Faktor lainnya, lanjut Darmaningtyas, kursi rektor yang dipandang sebagai jabatan politis sekaligus prestisius membawa konsekuensi ekonomi dan sosial tinggi. Demi menjaga gengsi, rektor biasanya memberikan sumbangan besar di atas rata-rata ke dosen atau relasi yang menyelenggarakan suatu acara. Padahal, gaji rektor sangat terbatas. Namun, di saat bersamaan harus memenuhi kebutuhan untuk membangun relasi. “Terpaksa lah harus tilep sana tilep sini. Maka, kalau tidak menghendaki rektor di PTN itu korup ya jangan pernah turut menambah beban ekonomi pada mereka,” kata dia.
Ketiga, keberadaan program penerimaan mahasiswa baru (PMB) jalur mandiri. Menurut Darmaningtyas, program tersebut merupakan celah korupsi terbesar di lingkungan PTN. Pasalnya, PMB jalur mandiri sejak awal dirancang sebagai media penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kemampuan membayar calon mahasiswa. Semakin tinggi kemauan calon mahasiswa membayar, semakin tinggi pula kemungkinan untuk diterima di PTN tersebut. “Itu lah sumber korupsi yang paling mudah dimainkan oleh para pimpinan di PTN,” ujarnya. Saat ini, setiap PTN memiliki program PMB jalur mandiri.
Program ini diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan. Darmaningtyas mengaku, dirinya sejak awal mendorong penghapusan pasal tentang PMB jalur mandiri di UU Pendidikan. Namun hingga kini aturan itu masih dipertahankan. “Selama PMB melalui jalur mandiri itu masih dipertahankan, maka selama itu pula celah untuk melakukan korupsi di dunia pendidikan tinggi terutama saat PMB amat besar,” ujarnya.
Runtuhnya Kredibilitas
Runtuhnya kredibilitas Menurut Darmaningtyas, ditetapkannya jajaran Rektorat Unila sebagai tersangka suap merupakan peristiwa yang amat memalukan. Ini sekaligus meruntuhkan kredibilitas universitas sebagai penjaga kebenaran. Selama ini, ketika perpolitikan nasional dipenuhi dinamika dan gejolak, banyak pihak menengok ke kampus karena dianggap sebagai imun dari tindak korupsi dan manipulasi. Namun, peristiwa penangkapan sejumlah pejabat rektorat di Unila memperlihatkan bahwa kampus bukan lagi lembaga yang kebal dari tindakan korup. “Tidak jauh berbeda dengan lembaga politik yang korup, hanya tampilannya saja yang agak lebih halus karena dibungkus dengan jargon akademik,” kata dia.
Darmaningtyas menyebut, korupsi di perguruan tinggi tidak hanya berdampak pada keluarga koruptor saja, tapi juga kredibilitas institusi itu sendiri. Dia mengatakan, korupsi di kampus otomatis meruntuhkan kredibilitas universitas sebagai penjaga kebenaran. “Kalau universitas yang seharusnya menjaga kebenaran tapi justru terlihat tindak korupsi, lalu ke mana lagi masyarakat harus berpaling untuk mencari kebenaran?” tuturnya.